Publicviral.com Bondowoso, 21 Juli 2025: Masalah agraria kronis yang membelenggu warga Kecamatan Ijen, Kabupaten Bondowoso, kini menyeruak kembali dengan intensitas yang semakin kuat. Di tengah geliat pembangunan nasional dan janji-janji keadilan sosial, ribuan warga di enam desa Kecamatan Ijen justru masih hidup di atas lahan negara tanpa hak legal sedikit pun. Ironisnya, fakta memilukan ini terjadi bukan di pelosok tak terjangkau, tetapi di sebuah kecamatan penuh potensi — dan di depan mata Pemerintah Kabupaten Bondowoso yang selama ini dinilai gagal hadir dan abai terhadap warganya sendiri.

Eko Febrianto, Ketua LSM Siti Jenar sekaligus Direktur Utama PT Siti Jenar Group Multimedia, menyampaikan pernyataan keras yang ditujukan langsung kepada Komisi VI DPR RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri BUMN, serta para pejabat tinggi daerah, termasuk Bupati Bondowoso dan Ketua DPRD, yang selama bertahun-tahun dinilai diam seribu bahasa atas nasib warganya yang hidup tanpa tanah milik.
Kecamatan Ijen: Enam Desa Tanpa Hak Milik.
Kecamatan Ijen, yang dulunya bernama Sempol, memiliki enam desa: Sempol, Kalisat, Jampit, Kalianyar, Kaligedang, dan Sumberrejo. Namun, fakta paling menyedihkan: tidak satu pun bidang tanah yang memiliki status hak milik atau tanah yasan. Semua lahan merupakan milik negara yang terbagi ke dalam tiga pengelolaan:
1. Perum Perhutani (RPH Blawan seluas 11.550,38 ha dan RPH Dataran Ijen seluas 1.810,53 ha – KPH Bondowoso)
2. PT Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) melalui Hak Guna Usaha (HGU)
3. Balai Besar KSDA di kawasan konservasi Cagar Alam Kawah Ijen.
“Fakta ini tidak bisa dibantah. Warga hidup dan mati di atas tanah yang tidak mereka miliki secara sah. Bahkan mengurus sertifikat kematian pun harus ke luar wilayah karena alamat tanahnya tak diakui,” tegas Eko dalam pernyataan resminya.
Pemukiman Dianggap Ilegal, Padahal Sudah Berabad-abad:
Di lapangan, warga telah tinggal secara turun-temurun, terutama di wilayah Petak 102 dan Petak 103 RPH Blawan, yang kini menjadi perkampungan padat di Desa Sempol, Dusun Kampung Baru (Kalisat), dan Dusun Mas Rejo Mulyo (Kalianyar). Namun sayangnya, status tanah ini masih tercatat sebagai kawasan hutan milik Perhutani, padahal secara fungsi tidak produktif dan hanya terdiri dari hamparan batu rejing yang tidak bisa ditanami dan tidak memberi nilai tambah kehutanan.
“Secara fakta, lahan itu sudah lama jadi tempat tinggal dan bertani. Tapi secara hukum, warga disebut ilegal. Ini bukan lagi ironi, tapi ketidakadilan yang dipelihara,” kecam Eko.
Pemkab Bondowoso Dinilai Tidak Serius, Tidak Punya Keberpihakan:
Eko dengan tegas menuding Pemerintah Kabupaten Bondowoso — dari bupati hingga anggota DPRD — telah gagal total dalam menyelesaikan masalah ini. Bahkan, tidak pernah ada inisiatif resmi untuk mengusulkan pelepasan kawasan hutan tidak produktif itu agar menjadi tanah permukiman yang legal bagi masyarakat.

Padahal menurut Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021, Bupati maupun Gubernur memiliki dasar hukum kuat untuk mengajukan perubahan status lahan melalui Menteri LHK, tepatnya pada Pasal 274 huruf (h) dan Pasal 278 ayat (1) huruf (c).
“Ini bukan soal tidak tahu. Ini soal tidak mau. Bupati Bondowoso punya kewenangan, tapi tidak digunakan. DPRD juga bisu. Mereka lebih takut pada meja birokrasi daripada memperjuangkan hak rakyatnya sendiri,” ujar Eko geram.
Sejarah Perlu Dicermati: Warga Ijen Bukan Pendatang, Tapi Keturunan Resmi.
LSM Siti Jenar juga mengungkap fakta sejarah bahwa warga Kecamatan Ijen adalah keturunan langsung dari para pekerja Belanda yang dibawa oleh dua institusi kolonial:
PTPN XII, yang dulunya milik David Birne Belanda, berdiri sejak 1890 dan dinasionalisasi pada 1958
Perhutani, yang pada masa kolonial disebut Boswezen, berdiri sejak 1858 sebagai dinas kehutanan Hindia Belanda
Para pekerja inilah yang membentuk pemukiman tetap, yang berkembang menjadi dusun-dusun dan desa-desa saat ini. Namun meskipun telah menjadi bagian dari republik selama 79 tahun, mereka tetap dianggap sebagai “penumpang gelap” di tanah sendiri.
“Ini bukan pendatang liar. Ini rakyat asli yang tinggal sejak zaman penjajahan. Tapi sampai sekarang, Pemkab Bondowoso belum pernah memperjuangkan hak hidup mereka,” tegas Eko.

Banyuwangi Bisa, Bondowoso Menghindar: Perbandingan yang Menampar:
LSM Siti Jenar menyebut bahwa kasus serupa pernah terjadi di Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi. Namun, pemerintah setempat dengan sigap mengajukan perubahan status lahan ke Kementerian LHK, hingga masyarakat akhirnya mendapatkan legalitas hak atas tanah yang mereka tempati.
“Kalau Banyuwangi bisa, kenapa Bondowoso ribet? Apakah kepala daerah di Bondowoso tidak memiliki nyali atau tidak memiliki niat?” sindir Eko.
Usulan Konkrit: Lepaskan Petak 102 & 103 dari Perhutani, Jadikan Tanah Permukiman.
LSM Siti Jenar telah melayangkan surat resmi kepada Menteri LHK, Menteri BUMN, Dirut Perhutani, dan unsur Forkopimda Bondowoso, yang berisi permohonan pelepasan Petak 102 dan 103 dari pengelolaan Perhutani. Tujuannya adalah untuk mengalihkan fungsi menjadi tanah permukiman legal, sehingga warga bisa mengakses hak sipil, ekonomi, dan sosial secara penuh.
Selain menyelesaikan konflik, langkah ini juga membebaskan Perhutani dari beban lahan tidak produktif, termasuk kewajiban pajak, konflik sosial, dan tekanan publik yang terus berulang.
Peringatan Terbuka dan Ajakan Bertindak:
Eko menegaskan bahwa masyarakat tidak butuh basa-basi politik atau upaya pembenaran. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata dari pemimpin daerah. Jika Pemkab Bondowoso tetap memilih diam dan tidak segera memproses pelepasan kawasan tersebut ke KLHK, maka LSM Siti Jenar akan membawa isu ini ke ranah nasional dan media publik.
“Kita akan pertanyakan di depan publik nasional. Jika kepala daerah tidak mampu menyelesaikan persoalan dasar seperti ini, untuk apa dia duduk di kursi bupati? Untuk apa DPRD dibentuk kalau tidak membela tanah rakyat?” tutup Eko dengan nada keras.
Kesimpulan: Pemerintah Daerah Wajib Hadir, Bukan Menonton.
Konflik pemukiman warga di kawasan hutan Ijen adalah bom waktu yang tidak bisa lagi dibiarkan. Pemkab Bondowoso punya pilihan: menjadi bagian dari solusi atau terus menjadi simbol kegagalan tata kelola agraria.

Rakyat sudah menunggu terlalu lama. Dan sejarah akan mencatat, siapa yang berdiri di sisi rakyat — dan siapa yang memilih bungkam dalam jabatan yang digaji oleh rakyat.
(Redaksi / Tim Investigasi Siti Jenar Group Multimedia)













