Publicviral.com Banyuglugur, Situbondo — Jumat, 7 November 2025 — Di bawah teriknya matahari pesisir utara Situbondo, tepatnya di Dusun Karangmalang, Gang Rajawali, Desa Kalianget, Kecamatan Banyuglugur, hamparan tambak yang tampak tenang ternyata menyimpan kisah panjang tentang konflik dan ketidakpastian. Sudah lebih dari enam tahun, warga setempat hidup dalam bayang-bayang sengketa lahan dengan pihak perusahaan yang mengklaim sebagian wilayah tambak sebagai miliknya.
Awal mula persoalan ini mencuat sekitar tahun 2018. Kala itu, pihak yang mengatasnamakan perusahaan mendatangi lahan tambak dan mengaku memiliki surat kepemilikan atas area yang sejak puluhan tahun dikelola oleh warga. Sejak saat itu, hubungan antara masyarakat dan pihak perusahaan tak pernah benar-benar damai. Persoalan yang semula tampak sederhana kini menjelma menjadi konflik sosial yang menyentuh aspek ekonomi, rasa keadilan, hingga harga diri masyarakat pesisir.
“Masalahnya dari dulu tidak pernah selesai. Kadang adem, kadang panas lagi,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya. Ia menuturkan bahwa tambak yang selama ini menjadi sumber penghidupan kini justru menjadi sumber keresahan. Aktivitas warga di area tambak pun mulai berkurang karena kekhawatiran akan konflik susulan.
Ketegangan terbaru terjadi pada 30 Oktober 2025, ketika sejumlah orang yang diduga sebagai utusan perusahaan datang dan mengeluarkan alat-alat milik warga dari tempat penjagaan tanpa izin. Tindakan itu memicu perdebatan sengit di lokasi dan nyaris berujung bentrokan fisik.
“Untung tidak sampai ada yang terluka,” tutur warga lain. “Tapi kalau terus begini, kami khawatir bisa lebih parah. Pemerintah harusnya segera turun tangan.”
Bagi masyarakat Karangmalang, tambak bukan sekadar lahan produksi garam atau ikan. Ia adalah simbol warisan dan ikatan sejarah antara warga dengan tanah leluhur. Karena itu, sengketa ini bagi mereka bukan hanya persoalan materi, melainkan pertaruhan terhadap eksistensi dan martabat.
“Kami tidak menolak hukum,” lanjut seorang warga senior. “Kami hanya ingin bukti yang jelas. Kalau memang tanah ini milik perusahaan, mana dasarnya? Jangan hanya saling klaim tanpa kejelasan.”
Namun hingga kini, penyelesaian tak kunjung terlihat. Warga merasa seperti dibiarkan hidup dalam ketidakpastian. Mereka menilai pemerintah daerah maupun instansi terkait terkesan lamban dan pasif. Tidak ada upaya nyata yang bisa menenangkan situasi atau memberikan kepastian hukum.
Sudah enam tahun lamanya sengketa ini berjalan, dan masyarakat Karangmalang mulai kehilangan harapan. Mereka berharap agar Pemerintah Kabupaten Situbondo maupun pihak provinsi turun langsung untuk memediasi kedua belah pihak. “Kami butuh negara hadir, bukan hanya janji,” ungkap salah satu tokoh warga dengan nada penuh harap.
Sengketa lahan di Karangmalang hanyalah satu dari banyak kisah serupa yang terjadi di pelosok negeri. Kisah tentang warga kecil yang berjuang mempertahankan hak atas tanah yang mereka garap sejak lama, di tengah sistem hukum yang kerap lamban menegakkan keadilan.

Kini, tambak-tambak di Karangmalang yang dahulu menjadi sumber kehidupan, justru berubah menjadi simbol luka lama yang belum sembuh. Warga menanti titik terang yang entah kapan datang, berharap keadilan tidak selamanya sekadar wacana di atas kertas.
(Papinko-Red/Tim Biro Besuki Situbondo, Jawa Timur)













